Rumah Penerbitan Ininnawa Makassar
(Kompas, 6 Februari 2010)
Ingar-bingar unjuk rasa mahasiswa di Makassar yang berujung rusuh sudah menjadi suguhan sehari-hari layar televisi. Begitu mendengar kata ”Makassar”, seketika ingatan kolektif khalayak tertuju pada situasi onar.
Di balik hiruk-pikuk mahasiswa di jalan raya, sekelompok mahasiswa dan sarjana lintas disiplin ilmu mencoba mengimbangi stigma itu dengan kegiatan intelektual. Menerjemahkan hasil penelitian bertema sosial-budaya dan kemudian menerbitkannya dalam bentuk buku merupakan keseharian anak-anak muda yang dikenal sebagai komunitas Ininnawa ini. Dalam bahasa setempat, ininnawa artinya harapan dan cita-cita.
Hasilnya, enam tahun terakhir, 20 judul buku mengenai kajian masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat telah terbit. Masyarakat Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi kini bisa mendapatkan literatur seputar kebudayaan mereka sendiri yang selama ini didominasi pihak asing. Tanpa perlu susah payah menerjemahkan, warga setempat bisa membacanya dan membeli buku dengan harga terjangkau.
Liana Siraji, mahasiswi FISIP Universitas Hasanuddin, misalnya, bisa membeli hasil terjemahan itu cukup dengan merogoh kocek rata-rata Rp 60.000 per buku. Dua-tiga kali lebih murah ketimbang buku aslinya.
Sebutlah, misalnya, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 karya Leonard Y Andaya (pengajar sebuah universitas di Hawaii, Amerika Serikat). Buku ini coba menyajikan sudut pandang alternatif atas perseteruan Arung Palakka dengan Sultan Hasanuddin.
Judul lain Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300- 2000. Hasil penelitian Thomas Gibson, peneliti Universitas Rochester, Amerika, ini mengulik simbol-simbol budaya dan kekuasaan di Makassar.
Setahun terakhir, sebuah buku pembelajaran seksual bersumberkan kitab Lontara’ sempat membuat heboh khalayak karena kevulgarannya menyaingi buku Kamasutra. Hasil penelitian Mukhlis Hadrawi itu terpajang di toko-toko buku dengan judul Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis.
”Kami ingin mendekatkan warga jazirah selatan Sulawesi dengan literatur budaya mereka sendiri, baik secara geografis maupun secara ekonomi,” kata Anwar Jimpe Rachman, Direktur Penerbitan Ininnawa.
Nurhady Sirimorok, perintis komunitas Ininnawa, mengungkapkan, hasil penelitian pihak asing jarang kembali ke Sulawesi dengan sendirinya. Umumnya berakhir dalam bentuk jurnal ilmiah dengan bahasa akademik atau terbukukan di luar negeri. Padahal, di satu sisi, sebagian besar masyarakat di daerah ini belum tentu paham akar kebudayaan sendiri.
Menerjemahkan naskah asing barulah setengah dari mekanisme Ininnawa. Agar tidak bias makna, Jimpe dan rekan-rekannya harus getol memasukkan informasi terbaru dan mengonfirmasi langsung beberapa hal kepada penulisnya.
Umumnya, pemilik naskah asli tidak menuntut pembayaran royalti. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Leiden, Belanda, misalnya, malah turut menanggung biaya cetak untuk buku Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Buku tersebut ditulis Roger Tol, Kees van Dijk, dan G Acciaioli.
Muhlis Hadrawi, salah satu penulis, melihat ketulusan pihak asing itu sebagai komitmen mengangkat penerbit lokal.
Hindari Subyektivitas
Dosen antropologi Universitas Hasanudin, Yahya Kadir, menilai literatur dari peneliti asing bisa menjadi pengimbang dari literatur peneliti lokal yang sulit menghindari subyektivitas. Sejumlah tulisan bahkan bisa menyadarkan bahwa beberapa ritual yang dianggap lumrah ternyata memiliki makna lebih dalam.
Contohnya, buku Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya. Buku tersebut ternyata secara obyektif mampu mengungkap nilai di balik meriahnya pesta pernikahan suku Bugis sebagai ekspresi penguasaan sumber daya ekonomi. ”Kita bisa berkaca dari sudut pandang yang lebih netral,” ujarnya.
Komunitas Ininnawa, yang terintis 10 tahun silam, setidaknya telah ikut mewarnai peradaban di jazirah selatan Sulawesi. Euforia unjuk rasa dan gemuruh roda kapitalisme perlu diimbangi gerakan kultural.